Hari ini adalah hari
pertama aku melaksanakan Ujian akhir Semester. Seperti biasa, walau aku bangun
amat pagi mendahului kokokan ayam, aku tetap berangkat pukul 06.45 WIB. Suara
nyanyian cacing-cacing perut yang tak pernah diam, membuat aku berjalan menuju
pasar untuk setiap harinya. Setelah makan, aku tenteng tas coklat ku di
punggungku. Seperti biasa, bak seorang artis yang berbicara dan berlagak
seperti orang sip didepan kaca lemariku. “Aku pasti bisa”, itulah yang sering
aku katakan sebelum ku langkahkan kakiku di depan pintu. Dengan sepeda tuaku,
aku menyusuri lorong tempat aku mencari jalan tembus agar aku tidak telat.
Jalan ini bagaikan saksi hidup antara aku dan si tua (sepeda
butut yang berumur 8 tahunan).
butut yang berumur 8 tahunan).
Sesampai
di tempat parkir, aku sering melirik kakanan. Ya, tempat parkir yang ada
atapnya, tapi bukan parkiran sepeda ontel seperti sibutut melainkan parkiran
untuk sepeda gagah berminumkan cairan yang di keluarkan dari perut bumi. Kenapa
ya, si perusak alam malah di kasih tempat senyaman surga padahal si butut tua
ini gak pernah tuh ngerusakin alam sampai desa Siring mengalami pendarahan
terus, pikirku. Ini memang benar-benar tak adil. Setelah meninggalkan tempat parkir,
aku pun masuk dengan wajah tidak jelas dan duduk pada kursi yang bernomor 18. Nomer-nomer
ujian ini seperti pohon yang melihat segerombolan perampok yang sedang merampok,
tdak ada fungsinya apa-apa. Teman-teman juga masih mencontek antar sesama geng.
Bagaikan sebuah peribahasa “Pucuk
dicinta ulampun tiba”, kulihat segerombolan kawan yang telah membuat taktik dan
serangkaian strategi untuk mengelabuhi dosen sudah dibuat dengan alur posisi
duduk yang rapi agar mudah dalam menjalankan sebuah missi sehidup semati. Ya, hampir
sama lah kayak pahlawan zaman dahulu yang melakukan strategi perang, mungkin
kayak strategi mau perang gerilya atau pemberontakan di Aceh atau mungkin
strategi untuk menyegerakan proklamasi kemerdekaan. Hihihi. Apapun itu,
sebenarnya tidak etis bagi seorang calon guru. Sebenarnya aku nangis darah, dan dalam hatiku
berdoa. Ya robb, apakah tidak ada system yang mampu membiasakan seseorang
berbuat jujur. Dunia sekarang tidak butuh orang pandai, tapi butuh orang yang
jujur. Setelah jam menunjukkan tepat pukul 07.00 WIB dosen menyuruh kami semua
keluar dan ternyata posisi duduk kita di acak. Sesuai dengan nomor yang
diberikan. Alkhamdulillah Allah SWT mendengarkan doaku selama ini. Kini, secarik kertas bernomor sudah tidak menjadi sebatang pohon lagi, melainkan superhero yang membuat manusia menjadi lebih baik. Kini teman-temanku menjadi lebih mandiri dan jujur.
0 komentar:
Posting Komentar